سماجی

6/recent/ticker-posts

Cerita dari Hotel Bintang Lima




Kamis, 26 Maret 2020

Awal tahun ini sebenarnya saya tak punya cukup uang, namun beruntungnya karena ada sponsor yang megratiskan berkegiatan di dua hotel bintang 4, dan dua hotel tak berbintang.

Disela agenda sponsor itu, saya mengunjungi tempat lain, mengulik banyak hal baru, salah satunya menemui seseorang di warung trotoar, jelang tengah malam.

"Makan di tempat ini selalu punya kesan berbeda," Katanya.

Ya, setiap hari dia berada di Lounge hotel bintang 5. Suatu tempat super mewah yang pernah saya jamah sekitar 5 tahun silam, demi memenuhi sebuah wawancara.

Betapa besar dan mewahnya tempat itu, betapa untuk masuk saja harus memerhatikan dengan seksama gaya berpakaian saya yang teramat kampungan, untuk ukuran tamu hotel bintang 5.

"Air mineral saja harganya 60 ribu," lanjutnya, memulai topik perbincangan.

Namun bukan itu, selain deretan menu asing dan tamu VVIP, sebenarnya ada sesuatu yang ingin saya telusur.

Kamu ditawar?

Dia terperangah. Namun tak berapa lama gesturnya kembali seperti biasa.

"Tertinggi 3 juta," Sahutnya.

Saya tertawa kecil sembari menyesap teh hangat yang baru tersaji di meja.

Sejak bekerja di Lounge, kulitnya lebih terawat. Gaya berpakaiannya juga demikian. Karena sentuhan skincare dan semacamnya, sosok burik dulu kini menjelma seperti selebgram.

Asli, bukan karena bantuan kamera beauty. Pekerjaan mengharuskannya tampil menawan.

"Banyangkan, untuk beverages saja billnya bisa sampai belasan juta, kadang aku juga dapat tip, lumayan kan?"

Namanya juga hotel bintang 5. Adakah atasnya lagi? Ada, bintang tujuh, obat sakit kepala.



Saat menginap di hotel bintang 5, saya mengintip harga makanannya. Duh, sulit kiranya memesan makanan di sini jika harus menggunakan uang pribadi. Namun Tuhan memang maha baik.

Sesekali saya berkunjung ke tempat kerjanya, melihat secara langsung Lounge mewah itu. Meski mentok hanya bisa sampai tempat-tempat umum. Untuk ke beberapa lantai harus menggunakan kartu, kartu itu ditempelkan saat naik lift.

Jadi ingat ketika saya pesan Gofood dan meminta abang ojol naik lantai 11, padahal yang bisa sampai lantai itu hanya khusus tamu, jika naik lift.

-000-

Awal kerja di sana, teman saya harus belajar jadi bartender. Konskwensinya, semua jenis bir ia cicipi, agar ia bisa menjelaskan pada tamu, apa jenis minumannya dan bagaimana cara menikmatinya.

Bukankah haram? Ia justru tertawa. Mungkin ini menggelikan baginya, dan saya jadi terlihat begitu polosnya. Sebab bagi saya, coffee wine saja sudah sebegitu enaknya. Tidak sampai red wine.

Adakah menu lokal di sana? Ada, dan itu justru jadi prioritas, alias menu unggulan. Memang tiap hotel punya ciri khas masing-masing. Karenanya banyaknya tamu asing, makanan lokal jadi selera sendiri.

Rawon atau soto babat, keduanya tersedia. Atau mau roti dan sereal?

Di Kota Kembang 5 tahun silam, per makan malam saya dapat jatah seratus ribu. Menyesuaikan harga menu makanan di hotel, karena yang disajikan hanya sarapan dan makan siang, malamnya harus pesan atau cari sendiri.

Seratus ribu untuk sekali makan? Betapa mahalnya, sebab saya pernah bertahan hidup seminggu dengan uang segitu.

Ya, akhirnya saya memilih turun, mencari udara luar dan warung pojok yang ramai, yang seporsi harga bebek gorengnya 30ribu. Itupun menurut saya masih mahal.

Lalu apa bedanya masakan di sana dan di warung trotoar sini?

"Mungkin lebih higienis," Jawabnya. "Meski rasanya sama saja," Lanjutnya mengakui.

Malam itu kami makan nasi goreng, sembari beradu suara dengan bisingnya lalu lalang kendaraan. []

Kedai MuaRa
Ahmad Fahrizal Aziz
BACA JUGA :
> Orang Jawa sing Ora Njawani
> Makna Peribahasa Adigang, Adigug, Adiguna
> Tahun 444 Ada Gempa Dahsyat di Pulau Jawa

Post a Comment

0 Comments