سماجی

6/recent/ticker-posts

Memasukkan Rasa dalam Tulisan




Oleh Fahrizal A.

Sebuah tulisan harus diberikan sentuhan “rasa", agar tidak hambar. Agar enak dibaca, lezat, juicy, dan renyah. Bagaimana caranya?

Menulis sama dengan memasak. Kegiatannya meracik sesuatu. Dalam meracik tulisan, bumbu utamanya adalah kosa kata. Bumbu tambahannya, wawasan dan persepsi. Namun ada bumbu penyeimbangnya, perasaan.

Rasa tidak terkait dengan hal teknis dan prosedural. Rasa adalah sesuatu yang bisa dirasakan, terutama oleh penulisnya dahulu, lalu merambat ke pembaca.

Dalam penulisan berita, dikenal istilah human interest. Hal itu bisa juga digunakan untuk menulis esai, puisi dan cerpen. Ada diksi tertentu yang bisa menunjukkan rasa.

Contohnya, dalam sebuah berita, (biasanya feature) :

----
Bertahun-tahun seorang nenek tinggal di gubuk reyot. Dalam gubuk berukuran 5x5 meter, dindingnya dari anyaman bambu dan atap gentengnya banyak yang bocor itu, si nenek menjalani kesehariannya.
---

Kalimat pertama terasa biasa saja, namun peragraf berikutnya mulai ada "rasa". Karena tulisan itu bentuknya berita, maka hanya bisa mendeskripsikan yang ada.

Jika ditulis dalam esai, bisa berbeda lagi :

---
Kala musim kemarau begini, sang nenek sering kedinginan di malam hari dan kepanasan di siang hari. Dinding bambu itu tak cukup mampu melindunginya dari ganasnya musim. Kadang ia merindukan almarhum suaminya, ia juga sering memimpikan anaknya yang tiada kabar sejak merantau sepuluh tahun lalu.
---

Dalam esai, penulis bisa memasukkan penilaiannya. Ada ruang lebih untuk menambahi bumbu “rasa".

Dalam menulis, kehendak harus dimunculkan. Apalagi dalam menulis esai, cerpen, apalagi puisi.

Kehendak, keingintahuan, mood, sangat memengaruhi cara kita meracik diksi. Itu sekilas bisa dirasakan kala membaca, meski bersifat subyektif, bahwa tulisan ini ditulis asal-asalan, pokok asal jadi.

Penulis tidak benar-benar hanyut dalam obyek yang ditulis. Tidak memiliki ketertarikan, sehingga tulisannya jadi terasa hambar.

Maka, menulis pun perlu "pakai rasa". Ini tidak bisa dipelajari, tidak bisa diedit oleh editor ahli sekalipun. Hanya bisa dimunculkan oleh penulisnya sendiri.

Harus hanyut dalam tulisan, menjiwai, dengan itu konsentrasi kita bisa secara penuh saat menulis. Secara tak sadar kita menyelipkan rasa, otak kita lebih encer dan mengalir untuk menentukan diksi.

Secara teoritik, memang ada banyak diksi yang mewakili perasaan. Ada diksi-diksi logika. Dari penggunaan diksinya, tercermin apakah orang itu dominan menggunakan perasaan atau logika.

Misalnya, dalam kasus sang nenek di atas, jika kita diminta merespon dalam satu atau dua kalimat, maka responnya pasti macam-macam.

Ada yang akan merespon :

Kemana peran negara selama ini? 

Durhaka sekali anak-anaknya menelantarkan sang ibu.

Selama ini apakah masyarakat sekitar tak peduli?

Respon di atas, seperti tercermin dalam pemilihan diksinya, menunjukkan seorang yang logic.

Jika responnya demikian :

Kasihan sekali nenek itu, pasti sangat menderita.

Tak bisa membayangkan kalau saya berada di posisi nenek itu, pasti nelangsa.

Rasanya ingin nangis melihat fenomena ini.

Dari respon di atas, menunjukkan seseorang yang menggunakan perasaan.

Berbeda dengan respon awal, ketika kita membacanya akan muncul reaksi marah dan geram, khususnya dalam kesadaran struktural bernegara.

Namun ketika membaca respon kedua, akan muncul empati. Dampaknya bisa muncul gerakan filantropi untuk membantu si nenek.

Lantas bagaimana dengan tulisan? Ya namanya penulis, kita bisa meraciknya. Itulah hebatnya penulis.

Penulis perlu paham juga psiko sosial masyarakat. Apakah ingin menembak sisi logika atau perasaannya.

Tulisan yang baik adalah yang berimbang. Terlalu dominan unsur logikanya juga membuat jenuh, hambar, kaku. Terlalu dominan unsur rasa juga terkesan lebay, cengeng, mendayu-dayu.

Sekilas pengamatan saya selama aktif di komunitas dan membaca banyak karya pemula, kasus tulisan "terlalu logic" sering saya temui. Bisa jadi karena lebih sering mengomentari esai dan berita.

Maka perlu ditambahi "rasa".

Hal sebaliknya mungkin terjadi pada karya cerpen dan puisi, yang mungkin terlalu mendayu-dayu sehingga terkesan cengeng dan lemah. Apalagi jika penulisnya seorang cowok.

Pada dasarnya keduanya perlu. Tinggal kadarnya saja yang disesuaikan. Dalam hal ini kadar "rasa". Masalah yang pernah juga saya alami karena dianggap terlalu logis dan kurang berperasaan. []

Post a Comment

0 Comments