Oleh Fahrizal A.
Suatu ketika di Bandung, seseorang menepuk pundak saya dan berkata : mas kok mirip Pak Ajip?
Pak Ajip? Maksudnya Pak Ajip Rosidi. Saya hanya melongo. Suatu kehormatan bisa (sekadar) dianggap mirip seorang tokoh besar, hanya gegara mungkin sama-sama berkacamata.
Begitu sederhana cara Tuhan membuat saya pada akhirnya berkenalan dengan karya-karya Ajip Rosidi. Hanya lewat sebuah tepukan dari seseorang, lalu saya penasaran mencari tahu siapa sosok Ajip Rosidi lebih mendalam.
Kala itu (2014) belum ada karya beliau yang saya baca. Namun dari namanya sudah cukup familiar. Mungkin karena saya lulusan kelas bahasa kala Aliyah.
Hidup Tanpa Ijazah
Pak Ajip, hanya sekolah sampai tingkat SMA. Itupun tak bisa ia buktikan karena tak punya ijazah, memutuskan berhenti menjelang ujian kelulusan.
Namun kini, kita kenal beliau sebagai sastrawan gaek tanah air. Sekelas Godbless kalau dalam musik. HB Jassin memasukkan namanya sebagai penyair angkatan 66.
Selain itu, beliau juga pernah jadi staf ahli Mendikbud, kala menterinya dijabat oleh Prof. Dr. Daud Jusuf yang sangat terkenal di kalangan aktivis mahasiswa, karena kebijakan melarang mahasiswa berpolitik di dalam kampus.
Walau tak lulus SMA, Pak Ajip pernah menjadi visiting profesor beberapa Universitas di Jepang. Selama 22 tahun ia mengajar di sana, salah satunya di Osaka Gaikokugo Daigaku.
Ia seorang otodidaktis. Belajar sendiri, membaca banyak referensi, sehingga membuatnya menjadi tokoh besar. Dalam bidang sastra dijuluki anak ajaib. Karya sastranya sudah lahir sejak usia belasan tahun.
Uniknya, karya pertama dari Pak Ajip yang saya baca adalah kumpulan obituari, yang dijilid dalam satu buku berjudul Mengenang Hidup Orang Lain.
Gaya menulis obituarinya sangat renyah, mengalir dan reflektif. Tak kalah dengan mendiang Rosihan Anwar, dan atau Ramadan KH yang banyak menulis biografi para tokoh itu.
Beberapa tulisan dalam rubrik bahasa juga pernah saya baca, di samping kritik sastra. Pak Ajip seorang eseis yang ulung, di samping sebagai penyair dan novelis.
Kiprah lainnya sebagai pengelola penerbitan Pustaka Jaya, dan sebagai dosen luar biasa. Perhatiannya pada sastra daerah, khususnya Sunda, juga sangat besar. Pak Ajip menghidupkan kesusastraan Sunda, serta mendirikan sebuah yayasan yang fokus memberikan perhatian dan penghargaan pada perkembangan sastra Sunda.
Salah satu karya otobiografi monumentalnya adalah Hidup Tanpa Ijazah, yang jadi semacam brand atas perjalanan panjang hidupnya. Buku itu total tebalnya 1.359 halaman.
Jika mengenang Pak Ajip, berarti mengenang seorang yang hidup tanpa ijazah. Itulah yang sering saya ingat. Ia tumbuh, dikenal dan menjadi tokoh, bahkan pernah menahkodai Dewan Kesenian Jakarta, murni karena karya. Tak ada titel mentereng yang tersemat dalam namanya.
Ia inspirasi bagi para otodidaktis yang memilih jalan informal, yang tidak betah berada di ruang-ruang kelas namun tak lelah untuk mengais banyak ilmu dari pengalaman hidup yang dijalani.
Pak Ajip seorang multitalent. Bisa menulis semua genre dan bentuk tulisan. Saya mengenal beliau lebih sebagai eseis. Orang lain mungkin berbeda. Juga, barangkali ada yang mengenal beliau sebagai aktivis literasi.
Ya begitulah, sosok multidimensi, si anak ajaib, tiada tandingannya. Selamat jalan Pak Ajip. []
0 Comments
Komentar di sini