Diskusi Komunitas Muara Baca kembali digelar, setelah beberapa bulan berhenti. Alasan utama bukan soal jumlah peserta, sebab sejak dulu jumlahnya juga tak banyak. Lebih tepatnya, segelintir saja.
Waktunya mungkin kurang tepat, namun saya pribadi hanya bisa hari Jumat. Hari Ahad sudah diagendakan untuk yang lain, secara rutin. Namun tak masalah, dengan direkam barangkali pendengarnya jadi lebih banyak. Apalagi dikirim ke beberapa grup, yang total membernya ratusan. Misalnya hanya didengar 30an orang dari ratusan itu, sudah lumayan.
Informasi mungkin saling bertaut. Satu orang yang mendengarkan, akan disampaikan ke temannya, begitu seterusnya. Perjalanan informasi sangat cepat. Jadi tak perlu bersedih dengan sedikitnya kehadiran, sebab potensi pendengarnya cukup banyak.
Jumat (08/02/19) kali ini penyaji tunggalnya Rosy Nursita, ketua FLP Blitar, dan dikomentari oleh Pak Budi Kastowo, Pustakawan yang secara telaten mendampingi tiap diskusi Komunitas Muara Baca.
Dimoderatori oleh M. Candra Setyawan dari IMM Blitar, diskusi ini dalam rangka menguatkan literasi politik, yang secara khas dilatarbelakangi oleh sejarah. Artinya, apapun tema diskusi, basic kajiannya tak jauh dari sejarah dan kebangsaan.
Seperti diskusi minggu ini yang bertema "Politik Indonesia Awal Kemerdekaan". Tentu kami tak ingin terjebak pada obrolan terkait politik praktis yang sedang terjadi. Karena ini tahun politik, maka momentum yang baik untuk mengingat kembali bagaimana politik zaman dahulu.
Rosy menjelaskan secara kronologis sejarah awal kemerdekaan, sistem pemerintahan dan euforia politik pada zaman itu. Bagaimana pada mulanya, politik digunakan sebagai alat perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.
Jika mengingat sejarah yang demikian, sulit rasanya kita melepaskan diri dari politik. Lewat politik, proses negoisasi terjadi. Agitasi dijalankan, demi menggerakkan massa untuk memperkuat perjuangan.
Siapapun, pada zaman itu, untuk ikut serta dalam perjuangan, politik adalah salah satu jalan terbaik. Meski untuk terjuan ke politik, mereka justru lebih banyak berkorban ketimbang mendapatkan sesuatu. Mulai dari korban harta hingga nyawa. Politik jadi jalan suci perjuangan.
Setelah merdeka dicapai, politik masih menjadi alat utama. Bung Karno menyebut proklamasi kemerdekaan adalah jembatan emas. Artinya, ada banyak yang dilakukan, dengan kehendak sendiri, setelah Indonesia merdeka. Pak Budi Kastowo lantas menyebut proklamasi adalah kata kunci.
Selanjutnya, pada awal kemerdekaan, politik masih dibutukan sebagai alat menyejahterakan rakyat. Dengan politik, pemerintah atau pengelola negara kala itu, bisa membuat kebijakan bagi rakyat yang selama ini menderita karena penjajahan. Ada keleluasaan, tanpa campur tangan penjajah, untuk mengatur sendiri pemerintahan.
Akan tetapi, pada konsep politik sebagai alat kesejahteraan, ternyata tidak berjalan mulus. 2,5 bulan selepas proklamasi kemerdekaan, gejolak politik sudah terjadi antar partai. Sistem berubah dari presidensial ke parlementer. Kabinet jatuh bangun hingga 17 kali dari 1945-1955.
Karena itu tidak sempat kerja secara maksimal, sudah berganti. Terus begitu, pun dengan perdana menteri yang memimpin kabinet. Banyak sejarahwan menyebut, pada zaman itu bisa dikatakan sebagian elite sudah terjebak pada kepentingan kelompok, yang sektoral.
Sehingga ada pergeseran, politik menjadi alat kepentingan. Itu menjadi kegelisahan tersendiri, terutama para pendiri bangsa seperti Bung Karno, yang akhirnya menggunakan cara-cara ekstrem selepas pemilu 1955.
Selengkapnya bisa didengar rekaman diskusinya. Sampai jumpa pada ulasan-ulasan diskusi berikutnya. Salam literasi.
Blitar, 9 Februari 2019
loading...
Social Plugin