Kamis, 2 Januari 2020
Dulu tiap malam kami sering makan bersama, sembari berbincang banyak hal, menanyakan apa yang hari ini terjadi di sekolah, juga mengatur jadwal liburan.
Sekarang, hal itu tidak akan pernah terjadi. Mereka telah berpisah.
###
Beragam perbincangan dengan para korban broken home membuat saya sedikit tahu arti kehilangan, dari sudut pandang seorang anak, korban utama. Sebab, semua bisa menjadi korban.
Itulah kenapa perceraian adalah hal yang sangat dibenci Tuhan, sekalipun diperbolehkan.
Bagi seorang anak, apalagi dalam usia-usia remaja nan labil, perpisahan orang tua benar-benar sangat berdampak.
Kehilangan ritual makan malam salah satunya, sebagaimana cerita yang saya dapat dari seorang teman. Suatu kenangan yang sulit dilupakan.
Sebab, makan malam adalah satu-satunya momentum untuk mereka berempat berkumpul, itupun belum tentu setiap hari, apalagi ketika sang ayah ada tugas kerja keluar kota.
Memang tidak semua keluarga punya ritual makan malam bersama. Namun setidaknya punya momentum berkumpul.
Kehilangan momentum itu bisa menciptakan lubang kesepian yang teramat mendalam, tak kalah dengan kehilangan karena kematian. Meski sama-sama berat.
Ada tetapi tiada. Begitulah kira-kira. Saat keluarga yang lain menawarkan kehangatan, juga kebersamaaan. Sementara seorang anak harus menerima pahitnya kehilangan kebersamaan itu, sekalipun hati masih tertaut dengan keduanya.
Dalam sebuah perceraian, anak adalah korban paling sempurna. Ia kehilangan sebagian dirinya : kepercayaan, figur panutan, kehangatan, dan kebahagiaan.
Ia akan merasakan makna lain dari kesepian yang teramat pedih. Bukan sekadar sepi karena tak ada teman, namun lebih karena ada yang hilang dalam hidupnya. Kehilangan sesuatu yang sebenarnya masih ada.
Ritual makan malam bukan hanya waktu untuk mengisi perut, namun sekaligus momentum untuk menciptakan dialog-dialog penting, waktu untuk saling memerhatikan satu sama lain, waktu untuk menyakinkan bahwa ia memiliki lingkaran kecil yang sangat memedulikannya.
Namun keadaan kadang juga membingungkan, sebab berpisah kadang memang lebih baik, daripada tetap bersama namun penuh dengan pertentangan, tekanan bathin, dan keributan.
Ketika berpisah akan merasa kehilangan, namun ketika bersama juga terus menerus menciptakan luka. Dua pilihan yang tak pernah diharapkan.
Keadaan semacam ini membuat sang anak harus siap. Siap kehilangan, siap untuk menerima kemungkinan. Siap untuk menerima perpisahan yang sudah seharusnya terjadi.
Mungkin dalam perpisahan akan muncul kebijaksanaan baru, penerimaan hati, juga ketangguhan jiwa menghadapi realitas.
Melihat dua orang yang mulanya sangat akrab, sama-sama memerhatikan kita, dan karena keduanya juga kita ada, kini menjelma dua orang yang saling tak kenal. Atau seperti orang lain.
Menerima perubahan status keduanya dari pasangan hidup, menjelma dua orang yang bahkan tak lebih akrab dari seorang tetangga.
Sementara anak harus tetap bersikap, sebagaimana mestinya seorang anak, yang lahir dari seorang ibu dan bapak yang sama. Status sebagai anak itu abadi, meski keduanya sudah tak bersama.
De Classe and Gelato
Ahmad Fahrizal Aziz
0 Comments
Komentar di sini