سماجی

6/recent/ticker-posts

Menuju Tua ; Cerita Lain Tentang Kesepian


Jumat, 21 Februari 2020

Namanya memang bukan Panti Jompo, tetapi Taman Lansia. Meskipun sebenarnya sama saja. Kendati demikian, pemilihan nama sangat berpengaruh secara psikologis.

Panti Jompo, ada kata jompo yang membuatnya terlihat muram. Tempat berkumpulnya orang-orang jompo, yang fisiknya sudah renta, sering masuk angin, encok, asam urat, dan sebagainya.

Kalau taman, adalah tempat yang indah, sejuk nan membahagiakan. Tempat untuk rekreasi atau bersantai.

Itulah kenapa Ki Hajar Dewantara menamai sekolahnya Taman Siswa. Bahwa agar terkesan jika belajar itu asyik, indah, menyenangkan.

-00-

Sebagian yang tinggal di Taman Lansia, karena keinginan sendiri. Bukan karena anaknya kurang perhatian. Anaknya rutin mengisi saldo rekening bulanan, namun kesibukan kerja di luar kota tak bisa ditawar.

Berkumpul dengan teman seumuran, meski sama-sama sudah renta, itu membahagiakan. Kalau di rumah, kesepian sekali. Apalagi, jika teman seusia satu per satu telah tiada. 

Pagi hari, di masa-masa pensiun, biasanya berbincang dengan teman A, teman B, ya untuk mengisi waktu. Berbagi rasa dan cerita. Namun mereka telah berpulang. Satu per satu.

Dada saya berdesir tiap kali mendengar kata "berpulang", apalagi diucapkan langsung oleh penghuni taman lansia.

Tiap kali ada teman sebaya yang berpulang, rasanya sesak di dada. Atau ketika teman sesama penghuni taman lansia dijemput keluarga. Entah karena kondisi kesehatan atau alasan lainnya, belum tentu mereka akan kembali.

Meski rata-rata baru kenal, namun keakraban di rumah singgah itu begitu erat. Rasa haru dan sedih mendalam ketika tersiar kabar ada yang berpulang, sembari mengingat kapan dan topik apa yang dibahas saat terakhir kali berbincang dengan teman yang berpulang itu.

Waktu memang pergi, namun kenangan tetap tinggal. Begitu kata pepatah.

"Kalau batas rata-rata usia manusia itu 63 tahun, berarti mbah sudah bonus nak," Ucap salah seorang.

Saya tersenyum mendengarnya. Jadi jika usia saya sekarang 27, kira-kira saya hidup 36 tahun lagi ya? bisa lebih, bisa kurang, wallohu'alam.

"Rasanya jadi tua itu gini, sakit-sakitan, mau mengeluh takut merepotkan anak, mau kerja sudah ndak kuat, rasanya hidup cuma jadi beban," Sahut yang lain.

Susah payah saya menahan diri untuk tidak menitikkan air mata, berulang kali menatap ke langit-langit dan menghela nafas panjang. Rasanya pilu sekali.

Apalagi, ketika salah seorang melantunkan tembang jawa sembari menenun, meski tone suaranya sudah aus, masih terdengar begitu merdu. Benar-benar menyesap ke dalam hati.

Bernyanyi adalah salah satu cara menghibur diri, dan itupun juga sering saya lakukan.

"Tetapi kita semua bahagia kan," Salah seorang pendamping pun berusaha memecahkan suasana.

-00-

Kuliah di mana?

Seorang kakek menanyai saya, kala duduk di teras Masjid daerah Kertoraharjo Kota Malang, selepas shalat ashar.

Kesehariannya, beliau rutin ke Masjid, karena sudah pensiun. Namun fisiknya nampak masih bugar.

Kami berbincang sejenak, beliau bercerita tentang kegiatannya, juga pekerjaannya terdahulu. Sesekali menceritakan kesuksesan anak-anaknya.

Namun, bisa kumpul semua hanya saat lebaran. Istrinya sudah berpulang, mendahuluinya. Aktivitasnya lebih banyak di Masjid.

"Asyik juga kalau bisa menulis, ingin sekali menuliskan kisah hidup," Komentar beliau, saat saya sedikit menjelaskan kegiatan dan komunitas.

Sore itu, saya juga baru selesai liputan, dan sedang memangku laptop, menulis berita di teras Masjid.

Menulis adalah cara produktif menghabiskan hari tua. Tentu ada banyak pengalaman sewaktu muda, lebih dari setengah abad hidup di dunia.

Sayangnya, semakin bertambahnya usia, ingatan berangsur lemah. Sebab tidak semua orang memiliki ingatan tajam seperti Alm. Rosihan Anwar yang bisa tetap menulis dengan rapi dan runtut di usia 80 tahun.

Ada banyak cara mengisi hari-hari menuju tua, yang kerap terhinggapi rasa sepi. Sepi yang sebenarnya sepi. []

Kedai MuaRa
Ahmad Fahrizal Aziz

Post a Comment

0 Comments