سماجی

6/recent/ticker-posts

Membangun Budaya Membaca, Bagaimana Caranya?


Oleh Fahrizal A.

Salah satu problem literasi yang perlahan mulai teratasi adalah ketersediaan bacaan, hal itu juga didukung oleh kemajuan teknologi informasi, ketika bahan bacaan diformat dalam bentuk digital.

Ketersediaan bacaan sangat penting bagi masyarakat. Pemerintah secara kelembagaan bertugas mendirikan Perpustakaan, baik Perpustakaan dalam lingkup sekolah, desa, kecamatan, hingga daerah tingkat kota/kabupaten.

Taman baca juga mulai marak, lapak baca atau perpustakaan jalanan kini juga ramai kita temui, dan seolah menjadi passion tersendiri.

Namun, ketika bahan bacaan sudah tersedia, seperti buku, koran, majalah, ebook, situs internet dan lain sebagainya, adakah yang membacanya?

Ya, tugas berikutnya adalah membangun budaya baca. Ini penting, agar buku-buku tidak hanya tersimpan rapi pada rak-rak Perpustakaan, malah sebagian rusak termakan rayap karena jarang diambil orang untuk dibaca.

Di sisi lain, budaya baca via sosial media terbilang cukup tinggi, hanya perlu diarahkan pada jenis bacaan yang sekiranya bisa memberikan input positif, sebab di sosial media bertebaran berita hoax yang memecah belah anak bangsa.

Dimulai dari diri sendiri

Budaya baca bisa dimulai dari diri sendiri. Ini bukan hal sulit, jika misalnya kita luangkan waktu 10 menit saja per hari.

Dalam sehari ada 24 jam, dalam 1 jam ada 60 menit. Artinya dalam sehari ada sekitar 1440 menit. Dari total 1440 menit itu, sisihkan saja 10 menit untuk membaca. Tentu tidak berat, sebab masih ada sisa 1430 menit untuk beraktifitas lainnya.

Jika 10 menit digunakan untuk membaca buku, dalam kecepatan standar, minimal bisa membaca 10 lembar. Sehari 10 lembar, dalam sebulan bisa 300-an lembar. Artinya bisa khatam 1 buku. Dalam setahun sekurang-kurangnya bisa khatam 12 buku, tanpa terasa. Cukup hanya menyisihkan 10 menit saja dari 1440 menit yang tersedia.

Upaya ini perlu konsisten dan kontinu.

Dari keluarga/ dari rumah

Keluarga juga penting. Sudut rumah, terutama ruang tamu dan ruang tengah, jangan sampai sepi dengan buku. Usahakan buku adalah benda yang familiar dipandang orang-orang rumah.

Jika memiliki anak usia TK dan SD, bisa menaruh buku-buku cerita bergambar. Karena anak-anak lebih suka hal-hal visual.

Lembaga Pendidikan/Sekolah

Lembaga pendidikan bisa turut serta membangun budaya baca di lingkungannya. Sekolah terutama, adalah habitat paling nyaman untuk mengembangkan budaya baca. Bagaimana caranya?

Pertama, buat program 5 menit baca buku sebelum pelajaran dimulai.

Kedua, untuk pelajaran rumpun sosial, beri kesempatan siswa menerangkan di depan kelas, sehingga mereka akan membaca materi tersebut.

Ketiga, pasang cukup banyak mading di sudut-sudut tertentu. Bahkan jika perlu ada program mading per kelas. Mading sebagian bisa diisi artikel-artikel. Ini membuat siswa terbiasa atau akrab dengan bacaan.

Keempat, beri tugas menulis esai. Terutama untuk tingkat Menengah Atas. Dengan diberikan tugas menulis, khususnya untuk pelajaran rumpun sosial seperti Sejarah, Sosiologi, Bahasa Indonesia dan yang serumpun. Saat menulis, siswa otomatis akan membaca.

Perpustakaan Daerah

Perpustakaan daerah harus aktif menjemput pembaca. Tidak pasif dan berharap keajaiban perpustakaan akan dikunjungi banyak orang, apalagi ketika perpustakaannya kurang representatif.

Salah satu program yang bisa dilakukan adalah cerita buku. Tiap pekan sekali diadakan cerita buku, lebih pada mengenal isi buku tersebut. Pustakawan bisa menjadi penutur atau pencerita.

Cerita buku ini mungkin akan menarik bagi mereka yang belum "dapat hidayah" untuk gemar baca. Jadi sementara buku-buku diperkenalkan via lisan.

Ketika isi buku ternyata related dan isinya menarik, siapa tahu dia akan mulai tertarik untuk membaca. Perlu dicoba, kan?

Pada intinya, semua pihak memiliki peran dalam membangun budaya membaca, dimulai dari diri sendiri, keluarga, sekolah, hingga pengelola perpustakaan.

Yuk sama-sama kita bangun budaya baca.

Post a Comment

0 Comments