Kadang yang dekat jarang dikunjungi, seperti misalnya Kampung Coklat yang populer itu, bahkan popularitasnya mengalahkan lokasi-lokasi lain yang sudah sejak lama ada di Blitar.
Padahal, di Kampung Coklat ada live akustik. Siang itu sembari duduk di kursi dekat kolam, di muka pintu hall, saya menikmati live akustik yang entah darimana sumbernya.
Suaranya enak, khas penyanyi pop rock, selintas seperti vokalisnya Base Jam, namun kadang saya merasa suaranya lebih mirip Alex Rudiant.
Mumpung gratis, saya berlama-lama di sana, selepas menghadiri undangan pelantikan direktur baru Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Islam Aminah.
Di dalam hall, selepas seremonial pelantikan dan serah terima jabatan, ada juga hiburan akustik. Timbre suara penyanyinya lumayan oke, membuat sesi makan siang menjadi lebih syahdu.
Musik akustik memang syahdu, atau yang sekadar diiringi piano. Fellnya terasa. Dibandingkan orkes dengan full band, yang kadang bingung antara serius bermusik atau pamer goyangan.
Musik akustik punya cita rasa tersendiri, apalagi live. Selalu si vokalis punya interpretasi tersendiri atas sebuah lagu, juga kadang punya ciri khas yang membuat lagu lawas terasa seperti lagu anyar.
Kala masuk stasiun Blitar beberapa waktu lalu, live akustik menyambut para penumpang. Untung saya datang lebih awal, sehingga bisa menikmati para anak muda, yang sebagian tak asing wajahnya itu, bernyanyi beberapa lagu.
Sesekali mereka mengajak calon penumpang kereta api untuk menyumbang suara, namun tidak ada yang bersedia.
Batin saya, mending tak usah. Biarlah mereka, yang memang benar-benar vokalis itulah yang bernyanyi.
Suasana peron menjadi berbeda karena hadirnya live akustik tersebut. Lebih segar.
Begitupun saat menanti di stasiun Gambir, ada sekelompok pemain musik keroncong dengan style busana ala veteran, melantunkan beberapa lagu. Asyiknya, ada gesekan biola ciamik, hati serasa teriris-iris kala mendengarnya.
Kesukaan saya pada musik memang tak bisa ditawar, juga apresiasi terhadap para pelantun rasa yang profesional, baik dari sisi teknis atau penghayatan.
Menjadi pemain band pernah jadi cita-cita saya, atau minimal pengarang lagu. Membayangkan lagu karangan saya bisa dilantunkan oleh penyanyi papan atas.
Sayang bakat tak begitu mendukung. Saya merasa musikalitas itu suatu yang alamiah. Kita bisa saja les vokal, les gitar, piano, dan sebagainya. Namun soul bermusik itu tak bisa dipelajari.
Saya mungkin suka, sekadar suka. Namun tak begitu menjiwai. Sebatas penikmat. Sebatas pengagum. Sebatas Pendengar. []
Blitar, 4 Februari 2020
Ahmad Fahrizal Aziz
www.muara-baca.or.id
0 Comments
Komentar di sini