Bagian 4, catatan Kolokium Nasional Cendekiawan Muda Muhammadiyah, 6-7 Maret 2020 di Malang.
Tidak semua warga Muhammadiyah membaca Himpunan Putusan Tarjih (HPT), juga mungkin tidak sempat menengok MKCH (Matan Keyakinan dan cita-cita Hidup) Muhammadiyah, atau PHIWM (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah).
Tidak membaca karena bisa jadi tidak sempat, saking sibuknya. Atau memang bacaannya belum tersedia. Sekalipun ada akses internet yang bisa dimanfaatkan.
Salah satu corong strategis untuk memperkenalkan ketiganya adalah melalui Da'i Muhammadiyah. Lewat Da'i Muhammadiyah lah HPT, MKCH, PHIWM atau dokumen terkait tersalurkan via verbal, lewat mimbar di Masjid-masjid.
Da'i punya peran yang sangat penting. Keliru memilih Da'i bisa repot. Namun Da'i yang ada harus juga didukung. Bagaimana caranya?
Di sela acara formal Kolokium, saya berbincang dengan mas Katni asal Ponorogo. Beliau adalah Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Pernah aktif juga di Majelis Tarjih.
Cerita dari Mas Katni--saya panggil mas karena usianya masih di bawah 40 tahun--sangat inspiratif.
Ada sinergi antara PDM, CMM (Corps Muballigh Muhammadiyah) dengan AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah), terkait dengan kegiatan ceramah ke pelosok-pelosok Ponorogo.
Seringkali Da'i yang diundang berceramah, apalagi ke pelosok daerah, akan berpikir ulang. Bagaimana menuju ke sana? Suatu perjuangan tersendiri mengingat sebagian daerah Ponorogo adalah pegunungan dan hutan.
PDPM Ponorogo, melalui Bidang Dakwahnya, urun rembuk mengatasi hal ini, dengan cara mengikutsertakan AMM. Hasil komunikasi PDPM, Majelis Tarjih dan Tabligh, serta PDM berhasil melahirkan CMM (Corps Muballigh Muhammadiyah) Ponorogo.
Dalam setiap agenda tausiyah ke Masjid-masjid, AMM harus berperan, minimal nyupiri mobil untuk mengantarkan Da'i tersebut. PDM yang menyediakan mobilnya.
"Ini sekaligus regenerasi, minimal AMM akrab dulu dengan bapak-bapak," Ujar Katni.
Sepertinya menarik, meskipun terkesan (hanya) nyupiri. Namun dari hal kecil seperti inilah silaturahim dan interaksi bisa terbangun. Kedepan, bisa jadi para AMM inilah yang akan menggantikan peran strategis para Da'i tersebut.
Selain itu, ada alokasi dana dari Lazismu untuk para Da'i. Sehingga Ta'mir Masjid PCM atau Ranting yang mengundang tidak perlu memikirkan transportnya. Cukup menyediakan tempat dan kebutuhan teknis lainnya.
Sayangnya saya tak sempat bertanya bagaimana model perkaderan Da'i di sana, Apakah dengan menggelar halaqoh khusus CMM, atau Da'i yang masuk CMM memang Da'i pilihan?
Tentu bagi Da'i Muhammadiyah, penguasaan materi khususnya HPT menjadi sangat penting. Sebab tidak semua warga Muhammadiyah membaca HPT, satu-satunya kesempatan warga mengupgrade pemahamannya tentang ideologi dan produk Ijtihad Muhammadiyah adalah lewat ceramah-ceramah para Da'i.
Mungkin karena di Ponorogo ada kampus Muhammadiyah, sehingga peningkatan kapasitas Da'i bisa dilakukan, termasuk dukungan materiilnya.
Malah mas Katni menawarkan kerjasama untuk membuka kuliah di luar kota, cabang UMP. Blitar salah satu yang potensial. Misalnya, Blitar membuka prodi Agama Islam dan menjadi kampus cabang UMP.
"Daripada buat kampus sendiri, Kan persiapannya lebih kompleks," Ucapnya.
Ya, ide yang menarik. Sementara saya masih slow respon, sebab di Blitar saya kan bukan siapa-siapa. Hanya kader biasa. Jadi tak tahu harus merespon bagaimana. []
Gubeng, Surabaya
Ahmad Fahrizal Aziz
0 Comments
Komentar di sini