سماجی

6/recent/ticker-posts

Sepak Bola dan Segala yang Bukan Urusan Kita


Francesco Totti, photo was taken from www.forzaitalianfootball.com
_______

Selasa, 18 Februari 2020

Saya pernah sangat menyukai sepak bola, sekalipun tak lihai memainkannya.

Kala SD sampai Tsanawiyah, saya adalah Romanisti, tifosi AS Roma, salah satu klub yang kala itu berjaya di Liga Serie A Italia. Juga sangat mengidolakan Francesco Totti.

Roma sangat memukau di bawah asuhan Fabio Capello kala itu. Sekalipun untuk rekor juara, Juventus lah rajanya. Sulit tertandingi.

3 tahun lamanya, saya langganan tabloid Soccer, tabloid khusus sepak bola yang terbit hari Jumat.

Update berita sepak bola saya ikuti. Sayangnya, lebih banyak liga-liga Eropa, dibanding liga Indonesia yang namanya berubah-ubah, dan lembaga yang menaunginya (PSSI) tak pernah sepi dari konflik internal.

Menonton sepak bola itu seru. Kalau dipikirkan, satu bola diperebutkan, dioper, dimainkan. Serius sekali.

Apalagi dibarengi dengan pemberitaan, beserta segala sensasi dan pernak perniknya. Sepak bola adalah satu dunia tersendiri yang asyik untuk diikuti.

Berharap suatu saat nanti sepak bola di Indonesia bisa semenarik itu. Tidak hanya membahas pertandingan di lapangannya, namun juga kisah para pemainnya, menjadi sesuatu yang ikonik.

Teringat rubrik tengah tabloid soccer yang selalu mengangkat profil pesepak bola unggulan, dengan karikatur yang ciamik serta info grafis yang menarik.

Bahkan banyak hal bisa diangkat, tidak saja prestasi di lapangan, gaji mingguan, sumber pendapatan selain gaji, jumlah kekayaan, kegiatan sosial, fans base dan semacamnya.

Tiap klub memang punya supporter, namun tiap pemain juga punya fansclub, karena masing-masing pemain ada agennya.

Semua itu, menjadi hiburan tersendiri. Ya, sebatas hiburan saja.

Selepas Roma tak lagi juara, dan Totti tak kunjung meraih ballon d'or apalagi sepatu emas, memang sedikit kesal. Apalagi saat menonton Roma kalah dengan klub papan bawah klasemen. Rasanya ingin membanting televisi.

Tetapi ya, itu bukan urusan saya kan? Kalah menang itu urusan mereka. Saya cukup penikmat, dan komentator bebas yang bisa teriak dan mengumpat dari balik layar televisi.

Menang ya bangga, kalah ya pahit, tetapi ya sudah, namanya juga permainan. Meskipun menjadi supporter bola memang perlu melibatkan emosi, biar seru.

Anehnya memang, pada sebagian supporter klub di Indonesia ini, ada yang super duper fanatik.

Padahal, pengelola klub dan pemain-pemainnya kerap berganti. Tidak menetap.

Sedihnya lagi, prestasi klub sepak bola Indonesia juga tidak begitu mentereng di level Asia atau hanya Asean. Namun fanatiknya sangat kuat. Ikonik.

Untuk klub-klub yang sebagian (masih) dibackup oleh APBD, kehadiran supporter fanatik itu harusnya dikelola dengan baik.

Sebab supporter fanatik itu adalah sekelompok orang yang tulus. Mereka membanggakan klubnya, beli jersey, syal, dan asesorisnya. Beli tiket untuk nonton, bahkan jika main di luar kota rela bayar transportnya sendiri.

Mereka tidak dapat apa-apa dari klub. Klub juga tidak keluar sepeser rupiah pun. Berkah mendapatkan supporter super fanatik dan loyal.

Bahkan saking loyal dan fanatiknya, rela berkorban nyawa jika klubnya dihina. Rela memelihara konflik abadi dengan kelompok supporter lain. Polisi dan Tentara dibuat kewalahan ketika dua supporter yang sama-sama fanatik bertemu.

Padahal, kepentingan kita sebagai supporter bola adalah untuk hiburan. Rela bangun tengah malam untuk menonton liga champions, padahal besok harus berangkat pagi untuk sekolah atau bekerja.

Rela memasang pernak perniknya di kamar, dan tempat-tempat lain di sudut rumah hanya untuk menunjukkan suatu kebanggaan sebagai supporter klub tertentu.

Malah barusan, rela baku hantam sampai berbuat rusuh tak karuan demi ... harga diri, sensasi, atau memang kurang kesibukan. []

Kedai MuaRa
Ahmad Fahrizal Aziz

Post a Comment

0 Comments